Sigi, IDN Times - Sebagian
masyarakat Suku Kaili di Sulawesi Tengah masih mengandalkan ragam tanaman
sebagai obat tradisional yang dipercaya mampu menyembuhkan berbagai macam
penyakit.
Namun tak semua daerah memiliki tumbuh yang bisa
diolah jadi obat herbal. Di Kabupaten Sigi, beragam tanaman tumbuh di hutan dan
dimanfaatkan masyarakat sebagai pengobatan yang diwariskan secara turun
temurun.
Di Desa Pakuli, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi
terdapat taman obat herbal yang luasnya mencapai 1 hektar. Taman ini
dikelola oleh Sahlan, selaku Ketua Adat Desa Pakuli.
Sahlan mengelola taman obat herbal ini bersama
70-an anak panti asuhan Assyfa. Secara bergantian mereka menanam, menata, dan
membersihkan taman obat herbal satu-satunya di Sulawesi Tengah itu.
1. Asal munculnya taman obat herbal di Desa Pakuli
IDN
Times/Kristina Natalia
Dalam bahasa Suku Kaili, Pakuli artinya adalah
obat. Sejak dulu, Desa Pakuli ditumbuhi ragam tanaman yang dipercaya bisa
mengobati berbagai macam penyakit, karena hal ini kemudian menimbulkan
kepercayaan masyarakat bahwa Desa Pakuli adalah tempat pengobatan tradisional.
“Dulu kan jarang dokter dan obat kimia, makanya
setiap kali ada warga yang terluka karena perang antar kampung yah dibawa ke
Desa Pakuli. Di kebunku itu sudah tempat pengobatannya,” cerita Sahlan, Selasa
(27/4/2021).
Taman obat herbal di Desa Pakuli dibuka sejak 1998
dengan pembiayaan budidaya tanaman obat keseluruhannya dikelola oleh
Sahlan.
Selain dipercayakan menjadi Ketua Adat di Desa
Pakuli selama 10 tahun, Sahlan juga dikenal sebagai ahli pengobatan alternatif.
Pada tahun 2008 ia membuka rumah pengobatan di Kota Palu dan menerima pasien
hingga 30an orang per hari.
“Taman obat herbal ini tidak ada bantuan dari
pemerintah, tapi saya tidak membatasi pemerintah. Kalau ada tamu dibawa ke
kebunku,” tutur Sahlan.
2.
Seratusan jenis tanaman herbal serta budidaya dan penjualannya
IDN
Times/Kristina Natalia
Sahlan menyebutkan ada seratusan jenis tanaman yang
tumbuh subur di taman obat herbal. Awalnya tanaman itu ia peroleh dari orang
tuanya, lalu ia budidayakan. Ada juga yang ia ambil dari hutan di Desa Pakuli.
Sahlan kemudian mulai mengelolanya menjadi obat
herbal seperti dedaunan kering hingga minyak gosok dan dijual dengan harga Rp30
ribu hingga Rp50 ribu per bungkus.
“Sudah banyak kesaksian pasienku yang datang, kalau
obat yang saya jual ini ampuh menyembuhkan penyakit,” kata Sahlan.
Untuk budidaya, Sahlan mengatakan bahwa lahan
seluas satu hektar tidak mampu mencukupi permintaan. Sahlan pun akhirnya
memberikan bibit kepada orang lain untuk membudidayakan tanaman-tanaman
tersebut. Ia kemudian membelinya dengan harga Rp150 ribu per karung.
“Bukan hanya warga di Sulawesi Tengah ini yang
beli, tetapi saya sudah kirim juga ke Makassar dan baru-baru ini ke
Banjarmasin,” ucapnya.
3.
Dimanfaatkan juga sebagai lokasi penelitian
IDN
Times/Kristina Natalia
Suku Kaili di Desa Pakuli menyebutnya Tondavo,
salah satu tumbuhan herbal yang langka dan tak ada di daerah lain di Sulwesi
Tengah.
Dari warisan turun-temurun, Tondavo dipercaya mampu
menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti hepatitis A, hepatitis B, tumor,
kista, maag dan penyakit lainnya.
Atas dasar itulah sejumlah pihak berkunjung ke
taman obat herbal di Desa Pakuli untuk keperluan penelitian. Mereka juga
meminta keterangan Sahlan terkait dengan manfaat dan cara penggunaan masing-masing
tumbuhan itu.
“Dari kampus-kampus sudah banyak yang datang, ada
juga dari LSM, orang luar negeri yang datang temui saya dan belajar di kebunku.
Saya terbuka untuk siapa saja yang mau belajar,” terangnya.
Taman obat herbal di Desa Pakuli buka setiap hari
dan pengunjung akan dikenakan biaya Rp25 ribu per orang. Selain bisa melihat
ratusan jenis tanaman herbal, pengunjung juga mendapat edukasi terkait manfaat
dan penggunaan obat tradisional Suku Kaili.
“Saya ini mencari untuk panti asuhanku saja,
makanya kami ada biaya masuk. Anak panti juga yang bantu kelola kebun itu,”
jelasnya.
Sumber: